Rabu, 10 Maret 2021

الدراسة فى الجامعة BELAJAR DI PERGURUAN TINGGI


 

 

الدراسة فى الجامعة 

١.  يكون الطالب الجامعي مستقلا بذاته حيث يحدد أوقات تعلمه واكمال واجباته ولم يعتمد على غيره     اكثر من اعتماده على نفسه

٢.  يقوم الطالب الجامعي بممارسة التطبيق العملي بعد ان يشارك فى عملية التعليم ولم يكف ان يعتمد     على النظرية المدروسية

٣.  يثري التعليم الجامعي الحبرات العملية حيث يداوم الطالب على قراءة الكتب ورسائل البحث            والمجلات العلمية داخل الكتبة وخارجها ويدرب نفسه على طرح الأراء والأفكار المبتكرة

٤. لايفر التعليم الجامعي المهارات الأساسية فحسب, بل يزود طلاب الجامعة أيضا بتدريب عملي       ضروري على اختلاف تخصصاتهم, ويدعوهم الى أنشطة علمية لم يكن تخقيقها الا بالمقارنة والتحليل

٥.   يحقق التعليم الجامعي أن يحصل طلاب الجامعة على فرص العمل المناسبة بتخصصاتهم ومهارتهم

٦.  يتصل التعليم الجامعي دوما بتوظيف التكنولوجيا والتجارب العلمية داخل المعمل حيث يتبع ذلك         تقدم العصر الحديث

وتؤكد تلك الأمور الى ان مرحلة الدراسية فى الجامعة هي أهم المراحل وأفضلها لأنها تشكل شخصية مستقلة فى اكمال الواجبات، وتزودها بشتى الخبرات والمهارات، وتدربها على تطبيق النظريات, وتعدها مستعدة للحصول على فرص العمل المناسبة حسب التخصصات ويتصل دائما بالتجارب والتكنولوجيا

 

الدراسة فى الجامعة

BELAJAR DI PERGURUAN TINGGI

 

يكون الطالب الجامعي مستقلا بذاته حيث يحدد أوقات تعلمه واكمال واجباته ولم يعتمد على غيره اكثر من اعتماده على نفسه

Mahasiswa mandiri dengan dirinya sendiri, karena dia menentukan waktu belajarnya dan menyelesaikan tugasnya dan tidak bergantung pada orang lain lebih dari dia bergantung pada dirinya sendiri

 يقوم الطالب الجامعي بممارسة التطبيق العملي بعد ان يشارك فى عملية التعليم ولم يكف ان يعتمد على النظرية المدروسية

Mahasiswa mempraktikkan aplikasi setelah mengikuti proses pendidikan dan tidak berhenti mengandalkan teori skolastik

يثري التعليم الجامعي الحبرات العملية حيث يداوم الطالب على قراءة الكتب ورسائل البحث والمجلات العلمية داخل الكتبة وخارجها ويدرب نفسه على طرح الأراء والأفكار المبتكرة

Pendidikan universitas memperkaya pengalaman praktis dengan siswa terus membaca buku, karya-karya penelitian dan jurnal ilmiah di dalam dan di luar perpustakaan dan melatih dirinya dalam mengajukan pendapat dan ide-ide inovatif.

 

لايفر التعليم الجامعي المهارات الأساسية فحسب, بل يزود طلاب الجامعة أيضا بتدريب عملي ضروري على اختلاف تخصصاتهم, ويدعوهم الى أنشطة علمية لم يكن تخقيقها الا بالمقارنة والتحليل

Pendidikan universitas tidak hanya memberikan keterampilan dasar, tetapi juga memberikan mahasiswa pelatihan praktis yang diperlukan dalam berbagai spesialisasi mereka, dan mengajak mereka dalam kegiatan ilmiah yang tidak tercapai kecuali dengan perbandingan dan analisis.

يحقق التعليم الجامعي أن يحصل طلاب الجامعة على فرص العمل المناسبة بتخصصاتهم ومهارتهم

Pendidikan universitas memungkinkan mahasiswa memperoleh kesempatan kerja yang sesuai dengan spesialisasi dan keterampilan mereka

يتصل التعليم الجامعي دوما بتوظيف التكنولوجيا والتجارب العلمية داخل المعمل حيث يتبع ذلك تقدم العصر الحديث

Pendidikan universitas selalu terkait dengan pemanfaatan teknologi dan eksperimen ilmiah di laboratorium, hal ini mengikuti dengan kemajuan zaman modern.

وتؤكد تلك الأمور الى ان مرحلة الدراسية فى الجامعة هي أهم المراحل وأفضلها لأنها تشكل شخصية مستقلة فى اكمال الواجبات، وتزودها بشتى الخبرات والمهارات

Hal-hal tersebut menegaskan bahwa tahap studi di perguruan tinggi merupakan tahap terpenting dan terbaik karena membentuk kepribadian yang mandiri dalam menyelesaikan tugas, serta membekali dengan berbagai pengalaman dan keterampilan.

وتدربها على تطبيق النظريات, وتعدها مستعدة للحصول على فرص العمل المناسبة حسب التخصصات ويتصل دائما بالتجارب والتكنولوجيا

Dan melatihnya untuk menerapkan teori, dan mempersiapkannya untuk mendapatkan peluang kerja yang sesuai menurut spesialisasi, seta selalu berkaitan dengan eksperimen dan teknologi

Selasa, 09 Maret 2021

MUSYAWARAH Q.S. ALHUJARAT AYAT 09

 

 

MUSYAWARAH

AL-QUR’AN SURAT ALHUJARAT AYAT 09

 

 

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱقْتَتَلُوا۟ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنۢ بَغَتْ إِحْدَىٰهُمَا عَلَى ٱلْأُخْرَىٰ فَقَٰتِلُوا۟ ٱلَّتِى تَبْغِى حَتَّىٰ تَفِىٓءَ إِلَىٰٓ أَمْرِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن

فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا بِٱلْعَدْلِ وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

Terjemah Arti:

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

 

Tafsir Quran Surat Al-Hujurat Ayat 9

Bila dua kelompok dari orang-orang yang beriman bertikai, maka kalian (wahai orang-orang beriman) harus mendamaikan mereka, dengan menyeru mereka agar berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dan rela menerima hukum keduanya. Bila salah satu dari kedua kelompok melanggar dan menolak seruan kepada Allah dan Rasulullah, maka perangilah mereka hingga mereka kembali kepada hukum Allah dan Rasulullah. Bila mereka telah kembali, maka damaikanlah mereka dengan adil. Berlaku adillah dalam hukum kalian, jangan melampaui hukum Allah dan Rasulullah dalam mengambil keputusan. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil dalam hukum mereka yang memutuskan dengan keadilan diantara makhlukNya. Dalam ayat ini terdapat penetapan sifat “mahabbah” bagi Allah secara hakiki sesuai dengan keagungan Allah.

 

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia

9. Jika ada dua kelompok dari orang-orang yang beriman saling berperang, maka damaikanlah -wahai orang-orang yang beriman- di antara keduanya dengan mengajak keduanya kepada hukum Allah untuk menyelesaikan pertikaian di antara keduanya. Jika salah satu enggan dan melanggar maka perangilah kelompok yang melanggar hingga ia kembali kepada hukum Allah. Jika telah kembali kepada hukum Allah maka damaikan antara keduanya dengan adil dan tidak memihak, berbuat adillah dalam memutuskan hukum antara keduanya, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil dalam membuat keputusan.

 

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram)

9. Allah mendorong orang-orang beriman agar melakukan perdamaian jika dua kelompok dari mereka saling bertikai. Kelompok yang lain dari orang-orang beriman wajib melakukan perdamaian yang Allah ridhai. Allah menegaskan kewajiban melakukan perdamaian ini, dan jika terdapat salah satu kelompok yang menzalimi kelompok lain dan tidak menerima perdamaian, maka kelompok yang zalim ini harus diperangi hingga ia mau kembali menerima hukum dari Allah dan Rasulullah. dan jika kelompok yang zalim itu telah berhenti dari kezalimannya maka perbaikilah hubungan kedua kelompok yang berselisih itu dengan ketetapan yang adil, yaitu dengan memberikan hak kepada pemiliknya dengan adil. Allah Maha Mencintai orang-orang yang berbuat adil.

 

Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Universitas Islam Madinah

9. وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا۟ (Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang) Yakni jika dua golongan dari orang-orang Islam yang saling berselisih maka hendaknya mereka senantiasa berusaha untuk melakukan perdamaian dan mengajak untuk memutuskan perkara dengan hukum Allah. Dan jika terjadi kezaliman yang dilakukan salah satu golongan setelah itu terhadap golongan lain dan tidak menerima perdamaian bahkan meminta sesuatu yang bukan haknya, maka hendaklah kaum muslimin yang lain memerangi golongan yang zalim itu hingga ia mau kembali kepada hukum Allah; jika golongan ini mau kembali kepada hukum Allah maka hendaklah kaum muslimin bersikap adil kepada kedua golongan itu dalam memberi keputusan dan bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran sesuai hukum Allah, kemudian menghentikan kezaliman golongan yang zalim itu dan mengembalikan hak golongan yang terzalimi. وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil) Yakni dan adillah dalam mengambil keputusan di antara dua golongan itu, karena Allah mencintai orang-orang yang adil.

 

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah

9. Jika ada dua golongan mukmin saling berselisih, maka damaikanlah mereka wahai orang muslim dengan memberi mereka nasehat dan menuntunnya untuk beramal sesuai perintah Allah dan meridhai ketentuanNya. Jika salah satu golongan kezalimannya melampaui batas kepada golongan lainnya dan menolak untuk berdamai, maka perangilah golongan yang melampaui batas itu, sampai dia mau menaati perintah Allah. Jika golongan itu mau kembali, maka damaikanlah mereka berdua secara adil dengan memberi golongan yang melampaui batas balasan atas pertentangannya. Berlaku adillah kalian, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Maknanya akan memberikan balasan yang baik atas perbuatan mereka. Ayat ini diturunkan untuk dua laki-laki dari kaum Anshar yang saling bermusuhan tentang hak antara mereka berdua. Masing-masing mereka meminta bantuan keluarga. Kemudian mereka saling melemparkan pukulan dan sepatu, bukan pedang.

 

Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah

Allah mengabarkan jika terjadi peperangan dua kelompok di antara orang-orang yang beriman; maka wajib bagi pemimpin untuk mengajak mereka berdamai, dan menyeru keduanya kepada hukum Al Quran dan As-Sunnah nabi-Nya; maka jika salah satu diantara 2 kelompok tersebut menolak maka wajib bagi kalian wahai orang-orang yang beriman untuk memerangi kelompok yang menolak tersebut agar kembali kepada hukum Allah dan rasulnya, tunduk kepada-Nya. Maka jika mereka telah kembali kepada hukum Allah dan rasulnya maka wajib bagi kalian untuk mendamaikan keduanya dengan berlapang dada, dan wajib bagi kalian bersikap adil dalam setiap permasalahan hukum yang bahwasanya mereka tidak diperkenankan untuk melanggar hukum Allah dan rasul-Nya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mencintai orang-orang yang adil, yang mereka meletakkan kebenaran pada setiap tempatnya. Maka pada ayat ini terdapat ketetapan kata sifat cinta bagi Allah sebagaimana yang layak atas kemuliaannya.

 

An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi

9. Ini mengandung larangan bagi orang-orang yang beriman untuk saling menzhalimi satu sama lain dan untuk saling menyerang satu sama lain. Jika ada dua kubu dari orang-orang beriman yang saling berperang, maka diwajibkan atas orang-orang beriman lainnya untuk melenyapkan keburukan besar ini dengan cara didamaikan serta ditengahi secara baik sehingga perdamaian bisa terwujud dan agar mereka yang saling berperang bisa menempuh jalan yang menggiring pada perdamaian. Jika keduanya berdamai, maka itulah yang terbaik, namun “Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” Maksudnya, kembali pada ketentuan Allah dan RasulNya dengan mengerjakan kebaikan dan meninggalkan keburukan di mana yang terbesar adalah perang. Firman Allah, “Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil.” Ini adalah perintah untuk berdamai serta bersikap adil dalam perdamaian, sebab bisa saja perdamaian dibuat namun tidak adil, tapi dibuat secara zhalim untuk salah satu dari kedua belah pihak yang bertikai; ini bukan perdamaian yang diperintahkan. Untuk itu salah satu dari kedua belah pihak yang bertikai tidak boleh memperhatikan faktor kekeluargaan, etnis atau kepentingan-kepentingan lain yang akan menyebabkan kedua belah pihak melenceng dari keadilan. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil,” yakni, bersikap adil dalam memutuskan perkara di antara sesame dan di seluruh kekuasaan yang dipegang bahkan bisa dimasukkan juga dalam pengertian adilnya seseorang terhadap keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya serta adil dalam menunaikan kewajiban-kewajibannya. Dan dalam hadits shohih "orang yang berlaku adil di sisi Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukumnya, keluarganya dan apa yang diurusinya" (HR . Muslim No. 1827)

 

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H

Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Dikatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Sekiranya engkau mendatangi Abdullah bin Ubay.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pergi mendatanginya dan menaiki keledai, dan kaum muslimin ikut pergi berjalan bersama Beliau. Ketika itu, tanah yang dilewati adalah tanah yang tidak menumbuhkan tanaman. Saat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya, maka Abdullah bin Ubay berkata, “Menjauhlah dariku. Demi Allah, bau keledaimu telah menggangguku.” Lalu salah seorang Anshar di antara mereka berkata, “Demi Allah, keledai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih wangi baunya daripada kamu.” Maka salah seorang dari kaum Abdullah (bin Ubay) ada yang marah untuknya dan memakinya, sehingga masing-masing kawannya saling marah. Ketika itu, antara keduanya saling pukul-memukul dengan pelepah kurma, sandal, dan tangan. Lalu disampaikan kepada kami, bahwa telah turun ayat, “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!” (Terj. Al Hujurat: 9) Ayat ini mengandung larangan berbuat zalim antara sesama kaum mukmin dan larangan bagi mereka untuk saling berperang, dan bahwa jika di antara dua golongan mukmin saling berperang, maka kaum mukmin yang lain harus memadamkan keburukan besar ini dengan mendamaikan mereka dan bersikap tengah-tengah secara sempurna sehingga terwujud perdamaian, dan hendaknya mereka menempuh jalan yang mengarah kepadanya. Jika kedua golongan itu berdamai, maka sangat baik sekali, tetapi jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu, kembali kepada perintah Allah, yaitu kembali kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya berupa mengerjakan kebaikan dan meninggalkan keburukan yang di antaranya adalah berperang. Ayat ini terdapat perintah untuk berdamai dan perintah berlaku adil dalam shulh (perdamaian), karena terkadang shulh ada namun tidak adil, bahkan dengan berlaku zalim atau memihak kepada salah satu di antara kedua golongan. Jika demikian, maka bukanlah shulh yang diperintahkan, ia wajib tidak memihak hanya karena hubungan kekerabatan, sesuku atau karena maksud dan tujuan tertentu yang membuatnya menyimpang dari keadilan. Yaitu mereka yang adil dalam memberikan keputusan di antara manusia dan dalam memimpin, bahkan termasuk pula adilnya seorang suami kepada istri dan anaknya dalam memenuhi hak mereka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِى حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا “Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Alah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar Rahman ‘Azza wa Jalla, dan kedua Tangan-Nya adalah kanan. Mereka itu adalah orang-orang yang adil dalam memberikan keputusan, dalam bersikap kepada keluarga mereka dan dalam hal yang mereka pimpin.” (HR. Muslim)

 

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I

Setelah Allah memperingatkan kepada orang mukmin supaya berhati-hati dalam menerima berita yang disampaikan orang fasik, maka Allah menerangkan pada ayat ini tentang apa yang bisa terjadi akibat berita itu. Misalnya pertikaian antara dua kelompok yang kadang-kadang menyebabkan peperangan. Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang atau bertikai satu sama lain maka damaikanlah antara keduanya dengan memberi petunjuk dan nasihat ke jalan yang benar. Jika salah satu dari keduanya, yakni golongan yang bermusuhan itu terus menerus berbuat zalim terhadap golongan yang lain, maka pera-ngilah golongan yang berbuat zalim itu, yang enggan menerima kebenar-an, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali kepada perintah Allah, yakni menerima kebenaran maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, sehingga terjadi hubungan baik antara keduanya, dan berlakulah adil dalam segala urusan agar putusan kamu diterima oleh semua golongan. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil dalam perbuatan mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan balasan yang sebaik-baiknya.


HIDUP SEDERHANA Q.S. ALISRAA AYAT 30

 

HIDUP SEDERHANA

AL-QUR’AN SURAT AL-ISRAA ; 30

 

إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ ٱلرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ بِعِبَادِهِۦ خَبِيرًۢا بَصِيرًا

Kosa kata

Mufrodat

Arti

 

Mufrodat

Arti

إِنَّ

Sesungguhnya

 

وَيَقْدِر

Dan Menyempitkan

رَبَّكَ

Tuhanmu

 

إِنَّهُۥ

Sungguh Allah

يَبْسُطُ

Meluaskan

 

كَانَ

Dia Allah

ٱلرِّزْقَ

Rizki

 

بِعِبَادِهِۦ

Terhapa Para hamba

لِمَن

Untuk Siapa saja

 

خَبِيرًۢا

Maha Mengetahui

يَشَآءُ

Dia Kehendaki

 

بَصِيرًا

Maha Melihat

 

Terjemah Arti:

Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.

 

Tafsir Quran Surat Al-Isra Ayat 30

Sesungguhnya tuhanmu melapangkan rizki bagi sebagian manusia dan menyempitkannya bagi sebagian yang lain, sejalan dengan ilmu dan hikmah Allah .Sesungguhnya Dia maha mengetahui rahasia-rahasia para hambaNya, tidak ada yang tersembunyi dari ilmuNya sesuatu yang kecil pun dari kondisi-kondisi mereka.

 

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 30.

Sungguh, Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki, dan menyempitkannya bagi siapa saja yang Dia kehendaki untuk suatu hikmah yang besar. Sungguh Dia Maha Mengetahui lagi Melihat hamba-hamba-Nya, tidak ada satu urusan mereka yang tersembunyi dari-Nya, sehingga Dia bisa menentukan apa saja terhadap urusan mereka sekehendak-Nya.

 

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram)

 30. إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقْدِرُ ۚ (Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya) Yakni melapangkan rezeki kepada sebagian orang dan menyempitkan rezeki sebagian yang lain sesuai dengan hikmah Allah yang dalam. خَبِيرًۢا بَصِيرًا (Maha Mengetahui lagi Maha Melihat) Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya.

 

Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah 30.

Sesungguhnya Tuhanmu meluaskan rejeki orang yang dikehendakiNya dan menyempitkan orang yang dikehendakiNya sesuai kebijaksanaanNya yang ditujukan untuk kebaikan para hamba. Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui setiap sesuatu, sehingga Dia memberi rejeki hamba-hambaNya sesuai kemaslahatan mereka

 

Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah

30.Kemudian Allah memberitahukan bahwasanya Allah “melapangkan rizki kepada siapa yang Dia kehendaki,” dari hamba-hambaNya, menakdirkan dan menyempitkannya atas siapa yang dikehendakiNya sebagai bentuk hikmah dariNya. “Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hambaNya,” maka Allah membalas mereka dengan balasan yang baik bagi mereka menuruut pandanganNya, serta mengatur mereka dengan kelembutan dan kemuliaanNYa.

 

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H

Makna kata: (يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقۡدِرُۚ) yabsuthur rizqa limay yasyaa`u wa yaqdir : meluaskan, dan menyempitkan rezeki sebagai ujian. Makna ayat: Firman-Nya ta’ala “Sesungguhnya Rabbmu yang melapangkan rezeki kepada yang Dia kehendaki...” melapangkannya kepada yang Dia kehendaki sebagai ujian, apakah ia bersyukur atau mengingkari, dan menyempitkan rezeki bagi yang Dia kehendaki sebagai cobaan, apakah ia bersabar atau malah murka. “Sesungguhnya Dia kepada hamba-hamba-Nya, Maha Teliti Maha Melihat.” Oleh karena itu Dia melapangkan dan menyempitkan rezeki sesuai dengan ilmu dan hikmah-Nya, karena ada sebagian dari hamba-Nya yang tidak tahan kecuali dengan kelapangan, dan ada yang tidak tahan kecuali dengan kesempitan. Pelajaran dari ayat: • Jelasnya hikmah Allah ta’ala dalam meluaskan dan menyempitkan rezeki hamba-Nya.

 

Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi

Dia mengetahui batin dan zahir mereka, oleh karenanya Dia akan membalas mereka dengan sesuatu yang cocok bagi mereka dan mengatur mereka dengan kelembutan dan kemurahan-Nya.

 

Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I

Sebab utama sifat kikir manusia adalah karena takut terjerumus ke dalam kemiskinan. Ayat ini mengingatkan bahwa sungguh, tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang dia kehendaki untuk dilapangkan rezekinya dan menyempitkannya kepada siapa yang dia kehendaki untuk disempitkan rezekinya; sesungguhnya dia maha mengetahui segala sesuatu, maha melihat akan hamba-hambanya. Dia memberikan kepada hamba-Nya segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dan kemaslahatannya apabila ia menjalani sebab-sebab untuk mendapatkannya. Kemudian Allah melarang kaum muslim membunuh anak-anak mereka seperti yang dilakukan beberapa suku dari kaum arab jahiliyah. Allah berfirman, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan akan menimpa mereka. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka, bukan kamu yang memberi rezeki kepada mereka, dan kami juga yang memberi rezeki kepadamu. Janganlah kamu mencemaskan mereka karena kemiskinan, maka oleh sebab itu kamu membunuhnya. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.


Senin, 08 Maret 2021

MACAM KUWALITAS QIRAAT

 

MACAM KUALITAS QIRAAT

DAN TOLAK UKUR DITERIMANYA QIROAAT

 

Macam-macam Qira’at al-Qur’an

Beberapa ulama ilmu Al-Qur’an berpendapat bahwa qiraat ada tiga macam, mutawatir, ahad dan syadz. Mereka berpendapat bahwa qiraat yang mutawatir adalah qiraat tujuh, kemudian qiraat sepuluh dan qiraat para sahabat adalah ahad. Sebagian berpendapat bahwa qiraat sepuluh adalah mutawatir. Sedangkan selain qiraat tersebut, menurut pandangan ulama adalah syadz.

Menurut Al-Jazari seperti dikutip al-Suyuti dan juga Zarqani, memaparkan macam-macam qiraat ditinjau dari segi kualitas sanad adalah: mutawatir, masyhur, ahad, syadz, maudhu’ dan mudraj.

 

1. Qiraat mutawatir,

adalah qiraat yang disandarkan pada periwayat yang terpercaya dan tidak mungkin mereka berdusta.

2. Qiraat masyhur,

adalah qiraat yang sanadnya sahih tetapi tidak sampai mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Uthmani dan terkenal dikalangan ahli qiraat. Oleh sebab itu, qiraat tersebut tidak dikatakan syadz.

3. Qiraat ahad,

adalah qiraat yang sanadnya sahih, tetapi rasmnya berbeda dengan rasm Uthmani. Demikian juga dengan kaidah dalam bahasa Arabnya yang berbeda serta tidak se-masyhur seperti tersebut di atas, seperti terdapat

Dalam surah al-Taubah ayat 128:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفَسِكُمْ  Kata (أَنْفُسِكُمْ) dibaca dengan (أَنْفَسِكُمْ).

Dalam surah al-Rahman ayat 76

مُتَّكِئِيْنَ عَلَي رَفَارِفَ خُضْرِ وَعَبَاِرقِيِّ حِسَان Kata (رَفْرَفَ) dibaca dengan (رَفَارِفَ).

Kedua bacaan qiraah di atas al-Hakim melalui jalur ‘Ashim Jahdari, dari Abu Barkah, dari Nabi SAW.

4. Qiraat syadz,

adalah qiraat yang sanadnya tidak sahih. Seperti qiraat Ibn al-Samaifah, seperti dalam surah Yunus ayat 92:

فَالْيَوْمَ نُنْحِيْكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلَفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ

Kata (نُنَجِّيكَ) di baca dengan (نُنْحِيْكَ) dan kata (خَلْفَكَ) dibaca dengan(خَلَفَكَ).

Menurut Abu Amr Ibn Hajab, seperti dikutib al-Jazari, qiraat yang syadz dilarang pembacaannya pada saat solat dan lainnya. Sedangkan menurut mazhab Syafii, apabila seseorang mengetahui bahwa suatu bacaan adalah qiraat syadz dan membacanya pada saat salat, maka batallah solatnya. Jika tidak mengetahui, maka terbebas dari kesalahan.[1]

5. Qiraat maudhu,

adalah qiraat yang tidak ada asalnya. Sebagai contoh, qiraat yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah dalam surah al-Fatir ayat 28

إِنَّماَ يَخْشَي الله مِنْ عِبَادِهِ الْعَلَمَاءِ

Kata ( اللهَ ) dengan posisi Mansub dibaca dengan ( اللهُ )dengan posisi Rafa’. Dan kata العلماءُ )   (dengan posisi Marfu’ dibaca dengan (العلماءَ ) dengan posisi Mansub. Menurut Zarqani qiraat tersebut tidak memiliki dasar sama sekali, sehingga Abu Hanifa terbebas darinya.

6. Qiraat mudraj,

adalah qiraat yang disisipkan penafsiran seperti qiraat yang diambil dari Ibn Abbas, seperti terdapat Surah al-Baqarah ayat 198

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ في مواسم الحج فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ

Kalimat (في مواسم الحج) adalah penafsiran yang diselipkan dalam nash ayat tersebut.

Juga terdapat dalam surah Nisa ayat 12:

وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ أمٍّ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ

Tambahan kata (أمٍّ) adalah qiraah S’ad Ibn Abi Waqqash.[2]

 

Syarat Diterimanya Qira’at

Menurut Manna al-Qattan, syarat diterimanya qiraat adalah:

1)  Qiraat harus sesuai dengan kaidah bahasa arab, seperti segi kefasihannya.

2)  Qiraat harus sesuai dengan rasm Uthmani. Apabila terdapat sedikit perbedaan, maka qiraat tersebut masih dapat diterima. Sebagai contoh dalam surah al-Fatihah, (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ), pada kata (الصِّرَاطَ) diganti dengan huruf sin (س). Contoh lainnya adalah ayat (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ) dengan membuang huruf alif pada kata (مَالِكِ) sehingga menjadi (ملك).

3)  Qiraat harus memenuhi kesahihan sanad.[3] Menurut al-Jazari, qiraat sahih mencakup dua aspek, yakni: memiliki kesahihan sanad dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm.[4]

Hal yang perlu digaris bawahi terkait dengan syarat diterimanya qiraat atau tidak adalah bahwa ketiga kategori di atas kerap disebut sebagai qiraat yang mutawatir. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolaknya. Jika terdapat qiraat yang tidak memenuhi kategori di atas maka tidak diterima. Penulis mendasarkan pendapat pada penjelasan Zarqani terhadap sebuah nazam yang ditulis oleh penulis kitab al-Thaiyibah sebagai berikut:

وكل ما وافق وجه النحو # وكان للرسم احتمالا يحوي

وصح إسنادا هو القرأن # هذه ثلاثة الأركان

Kata-kata (وصح إسنادا) di atas kemudian pahami sebagai riwayat yang mutawatir.[5]

 

Menurut Imam Makki seperti dikutip Zarqani juga memaparkan tentang syarat suatu qiraat yang dapat diterima atau tidak, yaitu:

1)  qiraat yang dapat diterima dengan memenuhi tiga syarat, yaitu diriwayatkan oleh orang yang tsiqah; sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm mushaf.

2)  periwayatannya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi tidak sesuai dengan rasm mushaf. Qiraat ini tetap dapat diterima, tetapi tidak dapat dipergunakan dalam bacaan meskipun periwayatannya sahih. Hal ini dikarenakan jika qiraat tersebut dibaca, maka akan dianggap sebagai al-Qur’an. Karena didalam al-Qur’an sendiri terdapat hukum-hukum, maka membacanya ditakutkan mengundang kesalahpahaman.

3)  qiraat yang diriwayatkan oleh perawi yang siqah atau pun tidak, tetapi tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, maka qiraat ini tidak dapat diterima. Meski qiraat tersebut telah sesuai dengan rasm mushaf.[6]

Terkait dengan syarat diterimanya qiraat, terdapat silang pendapat dikalangan ahli nahwu. Mereka beranggapan bahwa qiraat yang sanadnya sahih sekalipun, jika tidak sesuai dengan kaidah nahwu, maka qiraatnya ditolak. Terkait hal tersebut, Qattan mengutip pendapat Abu Amr al-Dani yang mengatakan jika suatu qiraat telah sahih dalam periwayatan dan penukilan, maka riwayat tersebut tidak bisa ditolak.

 

[1] Ibn Jazari, Taqrîb al-Nasyr Fî al-Qiraat al-‘Asyar, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 28

[2] Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqân Fî Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 2007), vol. 1, h, 110. Lihat pula dalam: Muhammad Abdul al-Azim al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dar Kutub al-Arabi, 1995), vol. 1, h. 349

[3] Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî Ulûm al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 169

[4] Ibn Jazari, Taqrîb al-Nasyr Fî al-Qiraat al-‘Asyar, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 27

[5] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 343

[6] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 344