Senin, 08 Maret 2021

MACAM KUWALITAS QIRAAT

 

MACAM KUALITAS QIRAAT

DAN TOLAK UKUR DITERIMANYA QIROAAT

 

Macam-macam Qira’at al-Qur’an

Beberapa ulama ilmu Al-Qur’an berpendapat bahwa qiraat ada tiga macam, mutawatir, ahad dan syadz. Mereka berpendapat bahwa qiraat yang mutawatir adalah qiraat tujuh, kemudian qiraat sepuluh dan qiraat para sahabat adalah ahad. Sebagian berpendapat bahwa qiraat sepuluh adalah mutawatir. Sedangkan selain qiraat tersebut, menurut pandangan ulama adalah syadz.

Menurut Al-Jazari seperti dikutip al-Suyuti dan juga Zarqani, memaparkan macam-macam qiraat ditinjau dari segi kualitas sanad adalah: mutawatir, masyhur, ahad, syadz, maudhu’ dan mudraj.

 

1. Qiraat mutawatir,

adalah qiraat yang disandarkan pada periwayat yang terpercaya dan tidak mungkin mereka berdusta.

2. Qiraat masyhur,

adalah qiraat yang sanadnya sahih tetapi tidak sampai mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Uthmani dan terkenal dikalangan ahli qiraat. Oleh sebab itu, qiraat tersebut tidak dikatakan syadz.

3. Qiraat ahad,

adalah qiraat yang sanadnya sahih, tetapi rasmnya berbeda dengan rasm Uthmani. Demikian juga dengan kaidah dalam bahasa Arabnya yang berbeda serta tidak se-masyhur seperti tersebut di atas, seperti terdapat

Dalam surah al-Taubah ayat 128:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفَسِكُمْ  Kata (أَنْفُسِكُمْ) dibaca dengan (أَنْفَسِكُمْ).

Dalam surah al-Rahman ayat 76

مُتَّكِئِيْنَ عَلَي رَفَارِفَ خُضْرِ وَعَبَاِرقِيِّ حِسَان Kata (رَفْرَفَ) dibaca dengan (رَفَارِفَ).

Kedua bacaan qiraah di atas al-Hakim melalui jalur ‘Ashim Jahdari, dari Abu Barkah, dari Nabi SAW.

4. Qiraat syadz,

adalah qiraat yang sanadnya tidak sahih. Seperti qiraat Ibn al-Samaifah, seperti dalam surah Yunus ayat 92:

فَالْيَوْمَ نُنْحِيْكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلَفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ

Kata (نُنَجِّيكَ) di baca dengan (نُنْحِيْكَ) dan kata (خَلْفَكَ) dibaca dengan(خَلَفَكَ).

Menurut Abu Amr Ibn Hajab, seperti dikutib al-Jazari, qiraat yang syadz dilarang pembacaannya pada saat solat dan lainnya. Sedangkan menurut mazhab Syafii, apabila seseorang mengetahui bahwa suatu bacaan adalah qiraat syadz dan membacanya pada saat salat, maka batallah solatnya. Jika tidak mengetahui, maka terbebas dari kesalahan.[1]

5. Qiraat maudhu,

adalah qiraat yang tidak ada asalnya. Sebagai contoh, qiraat yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah dalam surah al-Fatir ayat 28

إِنَّماَ يَخْشَي الله مِنْ عِبَادِهِ الْعَلَمَاءِ

Kata ( اللهَ ) dengan posisi Mansub dibaca dengan ( اللهُ )dengan posisi Rafa’. Dan kata العلماءُ )   (dengan posisi Marfu’ dibaca dengan (العلماءَ ) dengan posisi Mansub. Menurut Zarqani qiraat tersebut tidak memiliki dasar sama sekali, sehingga Abu Hanifa terbebas darinya.

6. Qiraat mudraj,

adalah qiraat yang disisipkan penafsiran seperti qiraat yang diambil dari Ibn Abbas, seperti terdapat Surah al-Baqarah ayat 198

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ في مواسم الحج فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ

Kalimat (في مواسم الحج) adalah penafsiran yang diselipkan dalam nash ayat tersebut.

Juga terdapat dalam surah Nisa ayat 12:

وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ أمٍّ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ

Tambahan kata (أمٍّ) adalah qiraah S’ad Ibn Abi Waqqash.[2]

 

Syarat Diterimanya Qira’at

Menurut Manna al-Qattan, syarat diterimanya qiraat adalah:

1)  Qiraat harus sesuai dengan kaidah bahasa arab, seperti segi kefasihannya.

2)  Qiraat harus sesuai dengan rasm Uthmani. Apabila terdapat sedikit perbedaan, maka qiraat tersebut masih dapat diterima. Sebagai contoh dalam surah al-Fatihah, (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ), pada kata (الصِّرَاطَ) diganti dengan huruf sin (س). Contoh lainnya adalah ayat (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ) dengan membuang huruf alif pada kata (مَالِكِ) sehingga menjadi (ملك).

3)  Qiraat harus memenuhi kesahihan sanad.[3] Menurut al-Jazari, qiraat sahih mencakup dua aspek, yakni: memiliki kesahihan sanad dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm.[4]

Hal yang perlu digaris bawahi terkait dengan syarat diterimanya qiraat atau tidak adalah bahwa ketiga kategori di atas kerap disebut sebagai qiraat yang mutawatir. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolaknya. Jika terdapat qiraat yang tidak memenuhi kategori di atas maka tidak diterima. Penulis mendasarkan pendapat pada penjelasan Zarqani terhadap sebuah nazam yang ditulis oleh penulis kitab al-Thaiyibah sebagai berikut:

وكل ما وافق وجه النحو # وكان للرسم احتمالا يحوي

وصح إسنادا هو القرأن # هذه ثلاثة الأركان

Kata-kata (وصح إسنادا) di atas kemudian pahami sebagai riwayat yang mutawatir.[5]

 

Menurut Imam Makki seperti dikutip Zarqani juga memaparkan tentang syarat suatu qiraat yang dapat diterima atau tidak, yaitu:

1)  qiraat yang dapat diterima dengan memenuhi tiga syarat, yaitu diriwayatkan oleh orang yang tsiqah; sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm mushaf.

2)  periwayatannya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi tidak sesuai dengan rasm mushaf. Qiraat ini tetap dapat diterima, tetapi tidak dapat dipergunakan dalam bacaan meskipun periwayatannya sahih. Hal ini dikarenakan jika qiraat tersebut dibaca, maka akan dianggap sebagai al-Qur’an. Karena didalam al-Qur’an sendiri terdapat hukum-hukum, maka membacanya ditakutkan mengundang kesalahpahaman.

3)  qiraat yang diriwayatkan oleh perawi yang siqah atau pun tidak, tetapi tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, maka qiraat ini tidak dapat diterima. Meski qiraat tersebut telah sesuai dengan rasm mushaf.[6]

Terkait dengan syarat diterimanya qiraat, terdapat silang pendapat dikalangan ahli nahwu. Mereka beranggapan bahwa qiraat yang sanadnya sahih sekalipun, jika tidak sesuai dengan kaidah nahwu, maka qiraatnya ditolak. Terkait hal tersebut, Qattan mengutip pendapat Abu Amr al-Dani yang mengatakan jika suatu qiraat telah sahih dalam periwayatan dan penukilan, maka riwayat tersebut tidak bisa ditolak.

 

[1] Ibn Jazari, Taqrîb al-Nasyr Fî al-Qiraat al-‘Asyar, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 28

[2] Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqân Fî Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 2007), vol. 1, h, 110. Lihat pula dalam: Muhammad Abdul al-Azim al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dar Kutub al-Arabi, 1995), vol. 1, h. 349

[3] Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî Ulûm al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 169

[4] Ibn Jazari, Taqrîb al-Nasyr Fî al-Qiraat al-‘Asyar, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 27

[5] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 343

[6] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 344


1 komentar: