BERLAKU ADIL DAN JUJUR
a.
Mari membaca QS An-Nahl (16) : 90-92 dengan tartil
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ
وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90) وَأَوْفُوا۟ بِعَهْدِ ٱللَّهِ إِذَا عَٰهَدتُّمْ
وَلَا تَنقُضُوا۟ ٱلْأَيْمَٰنَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ ٱللَّهَ عَلَيْكُمْ
كَفِيلًا إِنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ (91) وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّتِى
نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنۢ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَٰثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَٰنَكُمْ دَخَلًۢا
بَيْنَكُمْ أَن تَكُونَ أُمَّةٌ هِىَ أَرْبَىٰ مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ ٱللَّهُ بِهِۦ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ مَا
كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (92)
b. Mari menterjemahkan QS. An-Nahl:90-92
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.
91. Dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila
kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah
meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap
sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
92.
Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang
sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah
(perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan
yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya
menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskanNya
kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.
c. Mari Memaknai Mufradat Penting
• Kata (ٱلْعَدْلِ)
al-’adl terambil dari kata (عَدْل) ’adala yang terdiri dari huruf- huruf ’ain, dal dan lam. Rangkaian
huruf-huruf ini mengandung dua makna yang bertolak
belakang, yakni lurus dan sama serta bengkok dan berbeda. Seseorang yang adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu
menggunakan ukuran yang
sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang
menjadikan seseorang yang
adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih
• Beberapa pakar mendefinisikan
adil dengan penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini mengantar
kepada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Ada juga
yang menyatakan bahwa adil adalah memberikan
kepada pemilik hak-haknya, melalui jalan yang terdekat. Ini bukan saja menuntut seseorang memberi hak kepada
pihak lain, tetapi juga hak tersebut harus diserahkan tanpa menunda-nunda.
“Penundaan utang dari seseorang yang mampu membayar hutangnya adalah
penganiayaan.” Demikian sabda Nabi SAW. Ada lagi yang berkata adil adalah
moderasi : “tidak mengurangi tidak juga melebihkan,” dan masih banyak rumusan
yang lain.
• Kata (ٱلْإِحْسَٰنِ)
al-ihsân menurut ar-Raghib al-Ashfahani digunakan untuk dua hal, pertama
memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua, perbuatan baik. Karena itu –
lanjutnya – kata ihsan lebih luas dari sekadar “memberi nikmat atau nafkah.”
Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna adil, karena adil
adalah “memperlakukan orang lan sama dengan perlakuannya terhadap Anda,” sedang
ihsan adalah “memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda.” Adil adalah
mengambil semua hak Anda dan atau memberi semua hak orang lain, sedang ihsan
adalah memberi lebih banyak daripada yang harus Anda beri dan mengambil lebih
sedikit dari yang seharusnya Anda ambil.
Kata (إِيتَآئِ) îtâ’
/ pemberian mengandung makna-makna yang sangat dalam. Menurut ar-Raghib
al-Ashfahan, kata ini pada mulanya berarti “kedatangan dengan mudah.” Al-Fairuzdalam kamusnya menjelaskan sekian
banyak artinya, antara lain, istiqâmah (bersikap jujur dan konsisten), cepat,
pelaksanaan secara amat sempurna, memudahkan jalan mengantar kepada seorang
agung lagi bijaksana, dan lain-lain. Dari makna-makna tersebut dapat dipahami apa
sebenarnya yang dikandung oleh perintah ini dan apa yang seharusnya dilakukan
oleh sang pemberi, serta bagaimana seyogyanya sikap kejiwaannya ketika memberi.
• Kata (ٱلْفَحْشَآءِ)
al-fahsyâ’/ keji adalah nama bagi segala perbuatan atau ucapan, bahkan
keyakinan yang dinilai buruk oleh jiwa dan akal yang sehat, serta mengakibatkan
dampak buruk bukan saja bagi pelakunya tetapi juga bagi lingkungannya.
• Kata (ٱلْمُنكَر
)
al-munkar/ kemungkaran dari segi bahasa, berarti sesuatu yang tidak
dikenal sehingga diingkari. Itu sebabnya ia diperhadapkan dengan kata alma’rûf/
yang dikenal. Dalam bidang budaya kita dapat membenarkan ungkapan :”Apabila ma’ruf
sudah jarang dikerjakan, ia bisa beralih menjadi munkar, sebaliknya bila munkar
sudah sering dikerjakan ia menjadi ma’ruf.”
• Ibn Taimiyah mendefinisikan
munkar, dari segi pandangan syariat sebagai segala sesuatu yang dilarang oleh
agama. Dari definisi ini dapat disimak bahwa kata munkar lebih luas jangkauan
pengertiannya dari kata ma’shiyat/ kedurhakaan. Binatang yang merusak
tanaman, merupakan kemungkaran, tetapi bukan kemaksiatan, karena binatang tidak
dibebani tanggung jawab, demikian juga meminum arak bagi anak kecil, adalah
mungkar, walau apa yang dilakukannya itu – melihat usianya – bukanlah maksiat.
• Sesuatu yang mubah pun, apabila bertentangan dengan
budaya, dapat dinilai mungkar, seperti orang bergandengan tangan dengan sangat
mesra dengan istri sendiri di depan umum apabila dilakukan dalam suatu
masyarakat yang budayanya tidak membenarkan hal tersebut.
• Munkar bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada
yang berkaitan dengan pelanggaran
terhadap Allah, baik dalam bentuk pelanggaran ibadah, perintah non-ibadah, dan ada juga yang berkaitan dengan manusia,
serta lingkungan. Bahwa al-munkar, adalah
sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. ia adalah lawan
ma’ruf yang merupakan sesuatu yang baik
menurut pandangan umum suatu masyarakat selama sejalan dengan al-khair.
• Kata (ٱلْبَغْىِ) al-baghy/ penganiayaan terambil
dari kata bagha yang berarti meminta/menuntut, kemudian maknanya menyempit
sehingga pada umumnya ia digunakan dalam arti menuntut hak pihak lain tanpa hak
dan dengan cara aniaya/tidak wajar. Kata tersebut mencakup segala pelanggaran
hak dalam bidang interaksi sosial, baik pelanggaran itu lahir tanpa sebab,
seperti perampokan, pencurian, maupun dengan atau dalih yang tidak sah, bahkan
walaupun dengan tujuan penegakan hukum tetapi dalam pelaksanaannya melampaui
batas. Tidak dibenarkan memukul seseorang yang telah diyakini bersalah
sekalipun dalam rangka memperoleh pengakuannya. Membalas kejahatan orang pun
tidak boleh melebihi kejahatannya. Dalam konteks ini Al-Qur’an mengingatkan
pada akhir surah ini bahwa : “Apabila kamu membalas maka balaslah persis sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepada kamu (QS. An-Nahl [16]: 128).
• Kejahatan al-baghy pun sebenarnya telah
dicakup oleh kedua hal yang dilarang sebelumnya. Tetapi di sini ditekankan,
karena kejahatan ini – secara sadar atau tidak – sering kali dilanggar. Dorongan
emosi untuk membalas, bahkan keinginan menggebu untuk menegakkan hukum serta
kebencian yang meluap kepada kemungkaran, sering kali mengantar seorang yang
taat pun – tanpa sadar – melakukan al-baghy.
• Firman-Nya : (لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ) la’allakum tadzakkarûn
/ agar kamu dapat selalu ingat yang menjadi penutup ayat ini dapat dipahami
sebagai isyarat bahwa tuntunan-tuntunan agama, atau paling tidak nilai-nilai
yang disebut di atas, melekat pada nurani setiap orang, dan selalu didambakan
wujudnya, karena itu nilai-nilai tersebut bersifat universal. Pelanggarannya
dapat mengakibatkan kehancuran kemanusiaan.
• Yang dimaksud dengan (تَنقُضُوا۟) tanqudhû/ membatalkan
adalah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kandungan sumpah/janji.
• Yang dimaksud dengan (بِعَهْدِ ٱللَّهِ )
bi ‘ahd Allâh/ perjanjian Allah dalam konteks ayat ini antara
lain, bahkan terutama adalah bai’at yang mereka ikrarkan di hadapan Nabi
Muhammad saw. untuk tidak mempersekutukan Allah SWT serta tidak melanggar
perintah Nabi SAW. yang mengakibatkan mereka durhaka. Janji dan atau sumpah
yang menggunakan nama Allah yang kandungannya demikian, seringkali dilaksanakan
oleh para sahabat Nabi SAW. sejak mereka masih di Mekkah, sebelum berhijrah.
Memang redaksi ayat ini mencakup segala macam janji, sumpah, serta ditujukan
kepada siapa pun dan di mana pun mereka berada.
• Firman-Nya (بَعْدَ تَوْكِيدِهَا
) ba’da taukîdihâ ada yang memahaminya dalam
arti sesudah kamu meneguhkannya. Atas dasar itu yang jelas maksud meneguhkan/ peneguhan
tersebut adalah menjadikan Allah SWT sebagai saksi dan pengawas atas sumpah dan
janji-janji manusia. Ayat ini menekankan perlunya menepati janji, memegang
teguh tali agama serta menutup rapat-rapat semua usaha musuh-musuh Islam yang
berupaya memurtadkan kaum muslimin, sejak masa Nabi SAW. di Mekah hingga masa
kini dan mendatang.
• Kata (دَخَلًۢا )
dakhalan dari segi bahasa berarti kerusakan, atau sesuatu yang buruk.
Yang dimaksud di sini adalah alat atau penyebab kerusakan. Ini karena dengan
bersumpah seseorang menanamkan keyakinan dan ketenangan di hati mitranya,
tetapi begitu dia mengingkari sumpahnya, maka hubungan mereka menjadi rusak,
tidak lain penyebabnya kecuali sumpah itu yang kini telah diingkari. Dengan
demikian, sumpah menjadi alat atau sebab kerusakan hubungan.
• Kata (أَرْبَىٰ )
arbâ terambil dari kata (الربو) ar-rubwu yaitu tinggi atau
berlebih. Dari akar yang sama lahir kata riba yang berarti kelebihan. Kelebihan
dimaksud bisa saja dalam arti kuantitas, sehingga bermakna lebih banyak
bilangannya, atau kualitasnya, yakni lebih tinggi kualitas hidupnya dengan
harta yang melimpah dan kedudukan yang terhormat.
d. Mari Memahami Al-Qur’an surah an-Nahl:90-92
Dalam ayat ini ada tiga hal yang diperintahkan oleh
Allah agar dilakukan sepanjang
waktu sebagai wujud dari taat kepada Allah.
Pertama,
berlaku adil yaitu menimbang
yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang berhak, dan tidak
berlaku zalim/aniaya.
Kedua,
berbuat ihsan; mengandung dua arti yaitu mempertinggi kualitas
amalan, berbuat yang lebih baik sehingga imannya meningkat dan kepada sesama
makhluk yaitu berbuat lebih tinggi lagi dari keadilan. Misalnya, memberikan
upah kepada pekerja yang setimpal sesuai dengan pekerjaannya pada waktunya itu
adalah sikap yang adil. Tetapi jika memberikan upah yang lebih dari semestinya
sehingga hatinya gembira, maka itulah ihsan. Al-Qurtubi dalam tafsirnya menyatakan: “Maka sesungguhnya Allah suka sekali
hamba-Nya berbuat ihsan sesama makhluk, sampai pun kepada burung-burung
yang engkau perihara dalam sangkarnya, dan kucing di dalam rumah, jangan
sampai mereka itu tidak merasakan ihsan dari engkau”.
Ketiga,memberi kepada keluarga yang terdekat, ini sebenarnya masih lanjutan dari sikap ihsan.
Kadang-kadang orang yang berasal dari satu ayah atau satu ibu sendiri pun tidak
sama nasibnya. Ada yang murah rezekinya,lalu menjadi kara raya, dan ada yang
hidupnya susah. Maka orang yang mampu dianjurkan berbuat baik kepada keluarganya
yang terdekat, sebelum ia mementingkan orang lain.
Selain itu, ayat ini juga menjelaskan bahwa ada tiga
hal yang dilarang oleh Allah, yang harus dijauhi oleh orang yang beriman:
Pertama, melarang
segala perbuatan yang keji, yaitu dosa yang amat merusak pergaulan dan keturunan.
Kalau alQur’an menyebut al-fakhsyâ’, yang dituju ialah segala yang berhubungan
dengan perbuatan zina. Segala pintu yang menuju kepada zina, baik terkait dengan
pakaian yang Membukakan aurat atau cara-cara lain yang menimbulkan
nafsu syahwat. Hendaklah itu ditutup mati, tidak diberi jalan.
Kedua,
perbuatan munkar Yaitu segala perbuatan yang tidak dapat diterima baik
oleh masyarakat yang menjaga budi luhur, dan segala tingkah laku yang membawa
pelanggaran atau bertentangan dengan
norma agama.
Ketiga, aniaya, yaitu segala perbuatan yang sikapnya menimbulkan
permusuhan terhadap sesama manusia, karena mengganggu hak dan kepunyaan orang
lain.
Ketiga hal yang diperintahkan dan ketiga hal yang dilarang oleh Allah
dalam ayat tersebut, adalah bertujuan agar orang mukmin selamat
dalam pergaulan hidup sehingga dapat meraih
bahagia. Jika orang sudah berjanji dengan
Allah untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu, berarti ia
telah berjanji dengan Allah. Hendaklah janji dengan Allah itu dipenuhi, dan jangan seenaknya
melalaikan/bermain-main dengan sumpah yang
telah diteguhkan. Jika melanggar sumpah itu maka akan dikenai kaffarah
(denda), yaitu memberi makan 10 orang miskin atau
memerdekakan budak, kalau itu tidak mampu
maka berpuasa 3 hari berturut-turut (QS. Al-Mâ’idah: 89). Orang telah mengikat janji yang teguh, sehingga kuat
teguhlah janji itu laksana kain selesai
ditenun. Maka janganlah merusak perjanjian itu agar tidak seperti kain tenunan
yang telah kuat itu kemudian diurai kembali satu demi satu. Siasialah usahanya tidak ada
manfaat. Allah mencela orang yang suka meremehkan/ membatalkan
pernjanjian dengan
orang lain,
lalu berjanji
dengan pihak
lainnya. Ajaran
Islam membimbing umatnya agar teguh dan menepati janji yang telah
diucapkan/diteguhkan untuk dilaksanakan/ditepati dengan
sebaik-baiknya
By Ahmad Turmudi, S.Ag
Pengampu Tafsir Ilmu Tafsir MA Alhidayah Kendal
sumber buku Tafsir Ilmu Tafsir kelas 12 MA kurikulum K-13