MUQODDIMAH
Sholat merupakan rukun Islam kedua
setelah syahadat. Ia memiliki kedudukan yang sangat urgen dalam Islam. Rosulullah
bersabda:
رَأْسُ الْأَمْرِ
الْإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ
“Pokok
urusan itu adalah Islam, tiangnya sholat, dan puncak ketinggiannya adalah jihad”.
(HR. Tirmidzi, no: 2616; dll, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani)
Umar bin
Khathab pernah berkata: “Perkara yang
paling urgen menurutku adalah sholat, Siapa saja yang menjaganya, maka ia telah
menjaga agamanya. Dan siapa saja yang menyia-nyiakannya maka ia akan lebih
menyia-nyiakan terhadap selainnya. Dan tidak ada bagian dalam Islam utnuk
orang yang meninggalkan sholat.”
Terlebih lagi jika sholat itu
dilakukan secara berjamaah. Rasululloh SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah
Ta’ajub pada shalat (yang dilakukan) secara berjamaah.” (Lihat shahihul Jami’,
(1820).
“Shalat
berjama’ah itu lebih utama 25 derajat daripada shalat sendirian.” (HR.
al-Bukhari). Dalam riwayat
lain disebutkan: “(lebih utama) 27 derajat.” (Fathul
Baari’, 2/131).
Setiap muslim dianjurkan untuk
melaksanakan sholat berjamaah di masjid tepat pada waktunya. Namun dalam
prakteknya ada diantara kaum muslimin yang masih tertinggal sholat
berjamaah atau lebih di kenal dengan istilah Masbuq. Maka seperti apakah
permasalahan Masbuq itu?
Dalam tulisan sederhana ini,
penulis akan mencoba membahas seputar permasalahan yang urgen mengenai masbuq.
- 1. Devinisi Masbuq
Secara etimologi
Masbuq adalah isim maf’ul dari kata “ سبق” yang
bermakna “ terdahului/tertinggal”.
Adapun secara terminologi
Masbuq adalah Orang yang tertinggal sebagian raka’at atau semuanya dari imam
dalam sholat berjama’ah. Atau orang yang mendapati imam setelah raka’at pertama
atau lebih dalam sholat berjama’ah. (Kamus al-Muhith, Qawaid al-Fiqh dan
Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/400)
- 2. Kapan Seorang Makmum itu Disebut Masbuq?
Dalam hal ini, terdapat perbedaan
pendapat. Dimana ada dua pendapat mengenai kapan seorang makmum itu
disebut masbuq.
Pendapat
Pertama:
Yaitu pendapat Jumhur Ulama
yang menyatakan bahwa seorang makmum disebut masbuq itu apabila ia
tertinggal ruku’ bersama imam.
Jika seorang makmum mendapati imam sedang
ruku’, kemudian ia ruku bersama imam, maka ia mendapatkan satu raka’at dan
tidak disebut masbuq. Dan gugurlah kewajiban membaca surat al-Fatihah.
Dalil-dalil
Pendapat Pertama:
- مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوْعَ فَقَدْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ { أبو داود ، الفقه الإسلامي – سليمان رشيد 116 }
Artinya: “Siapa yang mendapatkan
ruku’, maka ia mendapatkan satu raka’at”. (HR. Abu Dawud, FIqh Islam-Sulaiman
Rasyid : 116)
- عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلم : ” إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ وَ نَحْنُ سُجُوْدٌ فَاسْجُدُوْا وَ لاَ تَعُدُّوْهاَ شَيْئاً وَ مَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ “ { رواه أبو داود 1 : 207،عون المعبود 3 : 145}
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan
bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “ Apabila kamu datang untuk shalat,
padahal kami sedang sujud, maka bersujudlah, dan jangan kamu hitung sesuatu
(satu raka’at) dan siapa yang mendapatkan ruku’, bererti ia mendapat satu
rak’at dalam sholat (nya)”. ( H.R Abu Dawud 1 : 207, Aunul Ma’bud – Syarah
Sunan Abu Dawud 3 : 145 )
Jumhur Ulama berkata: “Yang
dimaksud dengan raka’at disni adalah ruku’, maka yang mendapati imam sedang
ruku’ kemudian ia ruku’ maka ia mendapatkan satu raka’at. (Al-Mu’in
Al-Mubin 1 : 93, Aunul Ma’bud 3 : 145)
- إِنَّ أَباَ بَكْرَةَ إِنْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم وَ هُوَ رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم فَقاَلَ : ” زَادَكَ اللهُ حِرْصاً وَ لاَ تُعِدْ “ { رواه البخاري، فتح الباري 2 : 381}
“ Sesungguhnya Abu Bakrah telah
datang untuk solat bersama Nabi SAW (sedangkan) Nabi SAW dalam keadaan ruku’,
kemudian ia ruku’ sebelum sampai menuju shaf. Hal itu disampaikan kepada Nabi
SAW, maka Nabi SAW bersabda (kepadanya) : “ Semoga Allah menambahkan
kesungguhanmu, tetapi jangan kamu ulangi lagi ”.
Dari dalil-dalil diatas bisa ditarik
kesimpulan bahwa menurut jumhur ulama seorang dikatakan masbuk itu apabila ia
tidak sempat ruku’ bersama imam.
Pendapat Kedua
Pendapat ini mengatakan bahwa makmum
disebut masbuk apabila ia tertinggal bacaan surat Al-Fatihah. Ini adalah pendapat
segolongan dari ulama. Diantaranya adalah ucapan Abu Hurairah,
diriwayatkan oleh Imam Bukhori tentang bacaan al-Afatihah di belakang
imam dari setiap pendapat yang mewajibkan bacaan al-Afatihah di belakang imam.
Demikian pula pendapat Ibnu Khuzaimah, Dhob’i dan selain keduanya
dari Muhaddits Syafi’iyyah kemudian diperkuat oleh Syaikh Taqiyyuddin
As-Subki dari Ulama Mutakhkhirin dan ditarjih oleh al-Muqbili, ia
berkata: “Aku telah mengkaji permasalahan ini dan aku menghimpunnya pada
pengkajianku secara fiqih dan hadits maka aku tidak mendapatkan darinya selain
yang telah aku sebutkan yaitu tidak terhitung raka’at dengan mendapatkan ruku’.
(‘Aunul Ma’bud 3:146)
Sanggahan Pendapat kedua terhadap
dalil-dalil jumhur ulama yang menyatakan bahwa makmum yang mendapatkan ruku
bersama imam maka ia mendapatkan satu raka’at. Diantaranya:
- Dalam Sunan Abu Dawud tidak ada redaksi hadits dengan lafazh matan seperti tersebut diatas. Pendapat ini cenderung beranggapan salah tukil saja.
- Pada hadits (no 2) terdapat rawi yang bernama Yahya Bin Abi Sulaiman Al-Madani. Menurut Amirul Mukminin dalam hadits (yaitu) Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari dalam (kitab) Juz-u Al-Qiraat, Yahya (ini) munkarul hadits. ( Mizanul I’tidal 4 : 383, Aunul Ma’bud 3 : 147 ) Sedangkan yang dimaksud dengan Munkarul Hadits menurut pernyataan Imam Bukhori adalah: “ Setiap orang yang aku nyatakan Munkarul Hadits, berarti tidak dapat dijadikan hujjah ”. Bahkan dalam satu riwayat (dinyatakan) : “ tidak boleh meriwayatkannya ”. ( Fathul Mughits 1 : 346 ). Imam Syaukani berkata : “Hadits tersebut bukan dalil atas pendapat mereka, kerana anda pasti tahu, bahwa yang disebut raka’at itu (mencakup) semua aspek; bacaan, rukun-rukunnya secara hakiki syar’i, maupun ‘urf (kebiasaan). Kedua arti tersebut harus lebih didahulukan daripada arti menurut bahasa. Demikian ketetapan para ahli Ushul Fiqih. ( Nailul Authar, Asy-Syaukani 2 : 219 )
- Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla telah menjawab / membahas mengenai hadits Abu Bakrah, (menurutnya) bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah / alasan / argumentasi oleh mereka dalam hal tersebut (yaitu termasuk raka’at asalkan mendapat ruku’) kerana pada hadits tersebut tidak dinyatakan cukup (terhitung) raka’at. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 146 ).
Menurut Asy-Syaukani : Dalam
hadits tersebut tidak ada dalil / bukan dalil yang menguatkan pendapat
mereka, kerana sebagaimana (dimaklumi) tidak ada perintah mengulangi (raka’at),
tapi juga tidak menyatakan terhitung raka’at. Adapun Nabi mendoakan kepadanya
agar lebih bersungguh-sungguh, itu tidak berarti terhitung satu raka’at. (
‘Aunul Ma’bud, 3:146 )
Adapun
dalil-dalil pendapat kedua ini, bahwa seorang disebut masbuk apabila tertinggal
bacaan al-Fatihah bukan tertinggal ruku’ adalah:
- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّهُ قاَلَ : إِنْ أَدْرَكْتَ الْقَوْمَ رُكُوْعاً لَمْ تَعْتَدَّ بِتِلْكَ الرَّكْعَةِ. { رواه البخاري، عون المعبود{ 3:147,
Dari Abi Hurairah ra, bahwasanya ia
berkata : “ Jika engkau mendapatkan suatu kaum sedang ruku’, maka tidak
terhitung raka’at ”. ( H.R Al-Bukhari, Aunul Ma’bud 3 : 147 )
Imam Syaukani berkata: “Telah diketahui sebelumnya bahwa kewajiban
membaca Al-Fatihah itu untuk imam dan makmum pada setiap raka’at. Dan kami
telah menjelaskan bahwa dalil-dalil tersebut sah untuk dijadikan hujjah bahwa
membaca Al-Fatihah itu termasuk syarat sahnya sholat. Maka siapa saja yang
mengira bahwa sholat itu sah tanpa membaca al-Fatihah, ia haruslah menunjukkan
keterangan yang mengkhususkan dalil-dalil tersebut.”
- عَنْ قَتاَدَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه و سلّم كَانَ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفاَتِحَةِ الْكِتاَبِ. { رواه الترمذي {
Dari Qatadah, bahwa Nabi SAW membaca
Fatihatil Kitab pada setiap raka’at ”. ( H.R At-Tirmidzi )
- عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلّم قاَلَ : إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقاَمَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَ عَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةَ وَ الْوِقاَرَ وَ لاَ تُسْرِعُوْا فَماَ أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَ ماَ فاَتَكُمْ فَأَتِمُّوْا. { رواه الجماعة، فتح الباري{ 2: 167,
Dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW, ia
bersabda : “ Apabila kamu mendengar Iqamah, pergilah untuk sholat, dan kamu
mesti tenang, santai serta tidak terburu-buru. Apa yang kamu dapati (bersama
imam) sholatlah, dan apa yang ketinggalan (dari imam), maka sempurnakanlah ”.
( H.R Al-Jama’ah, Fathul Bari 2 : 167 )
Menurut Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari : Hadits tersebut dapat dijadikan
dalil / alasan bahwa orang yang mendapatkan imam sedang ruku tidak dihitung
raka’at, kerana ada perintah untuk menyempurnakan (apa-apa) yang
ketinggalan, sedangkan (dalam hal ini) jelas makmum ketinggalan (tidak ikut
berdiri dan membaca fatihah). (Fathul Bari : 2: 170)
Imam Syaukani berkata : “Dengan ini,
jelaslah kelemahan alasan-alasan pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa
siapa yang mendapatkan imam dalam keadaan ruku’, termasuk raka’at bersamanya
(imam) dan dapat dihitung satu raka’at sekalipun tidak mendapat bacaan
(Al-Fatihah) sedikitpun”. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu
Dawud 3 : 147 )
Inilah Muhammad
Bin Ismail Al-Bukhari, salah seorang mujtahid serta tokoh agama, beliau
berpendapat bahwa yang mendapat ruku’ (bersama-sama dengan imam) tidak dihitung
mendapat raka’at, sampai ia membaca Fatihatul Kitab (dengan
sempurna), maka ia mesti
mengulangi lagi raka’at (yang tidak sempat membaca Al-Fatihah) setelah
imam salam. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 152 )
- 3. Waktu Berdirinya Orang yang Masbuk untuk Menyempurnakan Raka’at yang terlewat.
Menurut Madzhab
Hanafi :
Seorang yang masbuk berdiri untuk
menyempurnakan raka’at yang tertinggal bukanlah setelah dua salam, tetapi
menunggu selesainya imam, dan diam sejenak sampai imam bangkit untuk
melaksanakan sholat sunnah jika setelahnya ada sholat sunnah. Atau membelakangi
mihrab jika setelahnya tidak ada sholat sunnah. Atau berpindah dari tempatnya.
Dan tidak boleh berdiri sebelum
salam setelah tasyahud kecuali di beberapa kondisi: – apabila seorang pengukur
tanah takut kehilangan masanya. – atau yang memiliki kebutuhan takut keluar
dari waktunya. Apabila yang masbuk pada sholat jum’at khawatir masuk pada waktu
ashar. Atau masuk sholat zhuhur pada sholat ‘id, atau terbit matahari pada
sholat shubuh. Ataupun khwatir berhadats. Maka bagi yang tersebut itu boleh
untuk tidak menunggu selesainya imam.
Menurut Madzhab
Maliki:
Seorang yang masbuk berdiri untuk
menyempurnakan raka’atnya yang terlewat setelah imam salam. Apabila ia berdiri
sebelum imam salam, maka sholatnya batal. (Ad-Dasuki 1/345)
Menurut MAdzhab
Safi’i:
Disunnahkan bagi yang masbuk untuk
menyempurkan raka’at yang tertinggal setelah imam menyelesaikan kedua salamnya.
Jika ia berdiri setelah imam selesai mengucapkan: “Assalamu’alaikum”, pada
salam pertama, maka boleh. Jika ia berdiri sebelum imam mengucapkan dua salam
maka sholatnya batal. Sekalipun ia berdiri setelah imam mengucapkan salam
sebelum selesai membaca: “’alaikum”, maka hukumnya seperti apabila ia berdiri
sebelum imam mengucapkan dua salam. (Roudhoh at-Tholibin 1/378 dan Majmu’,
3/487)
Menurut Madzhab
Hanbali:
Seorang yang masbuk berdiri untuk
menyempurnakan raka’at yang luput setelah salam kedua imamnya. Jika ia berdiri
sebelum salam imam dan tidak kembali untuk berdiri setelah salamnya. Maka
sholatnya berubah menjadi sunnah. (Syarah Muntaha Al-Iradat 1/248 dan
al-Inshaf, 2/222)
Menyempurnakan
Raka’at yang Tertinggal.
Jumhur Ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah) berpendapat
bahwa apa yang didapati seorang masbuk dari sholatnya bersama imam maka itu
adalah akhir sholatnya. Dan apa yang disempurnakan oleh seorang masbuk adalah
raka’at awal sholatnya. (Al-Bahru Raiq, 1/313, Asy-Syarh Ash-Shagir 1/458, dan
Al-Inshaf 4/225)
Menurut Madzhab
Syafi’i; Apa yang didapati masbuk dari
sholat bersama imam maka itu adalah awal sholatnya. Dan apa yang
disempurnakannya setelah imam salam adalah akhirnya. Berdasarkan sabda Rosulullah:
“Maka apa yang kamu dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang kamu luput
(bersama imam) maka sempurnakanlah”. Dan penyempurnaan sesuatu itu tidaklah ada
kecuali setelah permulaannya. Berdasarkan ini, apabila ia sholat shubuh bersama
imam pada raka’at yang kedua kemudian qunut bersama imam, maka ia harus
mengulang qunut. Kalau ia mendapati satu raka’at sholat magrib bersama imam,
maka tasyahud yang keduanya itu sunnah, karena ia menempati tasyahudnya yang
pertama. Dan tasyahudnya bersama imam lil mutaba’ah (mengikuti) hal itu adalah
hujjah bahwa apa yang ia dapati bersama imam adalah permulaan sholatnya. (Mugni
Al-Muhtaj 1/206)
- 4. Mengangkat Imam Pada Sholat Masbuq?
Pada dasarnya tidak apa-apa seorang
yang masbuk menjadi imam. Apabila seseorang datang untuk sholat berjama’ah,
sedangkan imam dan jama’ahnya sudah selesai melaksanakan shalat. Kemudia ia
mendapatkan seorang masbuk yang sedang menyempurnakan raka’at yang tertinggal,
maka ia berdiri disamping kanannya dan menjadikan orang yang masbuk itu imam
untuknya supaya mendapatkan pahala berjamaah. Maka insya Allah hal tersebut
sah.
Pada contoh seperti ini, Syaikh Bin
Baz berkata : “Tidak apa-apa akan hal tersebut insya Allah menurut yang
shohih”. Dan ia berkata: “Dianjurkan baginya sholat bersama yang masbuk dimana
ia berdiri disamping kanannya. Dengan semangat untuk mendapatkan fadhilah
sholat berjama’ah. Dan orang yang masbuk merubah niatnya menjadi imam, maka
tidaklah mengapa pada hal tersebut menurut ucapan para ulama yang paling shohih”.
(Kitab Ad-Da’wah 2/117)
Tapi bagaimana jika mengangkat yang
masbuk menjadi imam untuk yang masbuk. Misalkan ada tiga orang masbuk. Setelah
imam salam, kemudian mereka berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang
tertinggal dan mengangkat imam dari salah seorang diantara mereka. Maka dalam
hal ini terdapat perbedaan pendapat.
Pendapat
Pertama:
Menurut pendapat ini, mengangkat
yang masbuk menjadi imam pada sholat masbuk itu tidak boleh, bahkan sebagian
dari mereka mengkategorikannya kepada perbuatan bid’ah. Hal tersebut
dikarenakan tidak adanya satu pun dalil yang menjelaskan secara shorih bahwa
Rosulullah memerintahkan atau mencontohkannya.
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir
‘Abdat, di dalam Buku Risalah Bid’ah, hal. 190, menyatakan: Bid’ah ini
tegas-tegas telah menyalahi Sunnah: Nabi shallahu’alaihi wa sallam bersama
Mughirah bin Syu’bah pernah menjadi masbuq di dalam peperangan Tabuk.
Ketika Abdurrahman bin ‘Auf yang menjadi imam shalat memberi salam (selesai
shalat), kemudian Nabi shallahu’alaihi wa sallam dan Mughirah
menyempurnakan satu raka’at yang tertinggal sendiri-sendiri tidak membuat
jama’ah. (Hadits riwayat Muslim dan lain-lain.)
Pendapat Kedua:
Pendapat ini membantah pernyataan
pendapat pertama, bahwa tidak boleh mengangkat imam pada sholat masbuk. Pendapat
ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Mugirah bin
Syu’bah diamana hadits ini menjelaskan bahwa Mugirah bersama Rosulullah pernah
masbuq. Adapun hadits tersebut sebagai berikut:
عَنْ عُرْوَةَ
بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ
مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ
عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ
وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ
وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى
الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلَاةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا
سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا
الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا.
Artinya: Dari muqhirah bin syu’bah
dari ayahnya dia berkata: Rasulullah tertinggal (dari rombongan pasukan) dan
aku tertinggal bersama beliau, ketika beliau selesai dari hajatnya, beliau
bertanya apakah kamu ada air? Maka aku bawakan ember (tempat bersuci), kemudian
membasuh kedua telapak tanganya, wajahnya dan menyingkap lengannya, namun
lengan jubahnya terlalu sempit, maka beliau mengeluarkan tangannya dari bahwa
jubah, dan meletakkan jubahnya di atas bahunya, kemudian beliau membasuh kedua
lengannya dan mengusap ubun-ubunnya, dan bagian atas surbannya serta kedua
khufnya (semacam kaos kaki dari kulit), kemudian beliau naik (kendaraan) dan
akupun naik, ketika kami sampai pada rombongan kaum (para sahabat), mereka
sedang shalat yang diimami oleh Abdurrahman bin Auf, dan sudah selesai satu
rakaat, ketika (Abdurrahman bin Auf) menyadari kedatangan Rasulullah, dia
mundur, maka Rasulullah memberi isyarat kepadanya, maka (Abdurrahman bin Auf)
meneruskan tetap mengimami shalat mereka, maka ketika Abdurrahman bin Auf salam
(selesai shalat), Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku’
(menyempurnakan) rakaat yang tertinggal. (HR. Imam Muslim, 2/123 Bab
Al-Mashu ‘ala An-Nashiyah wa al-‘Imamah no: 81)
أَنَّ الْمُغِيرَةَ
بْنَ شُعْبَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَبُوكَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَتَبَرَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ الْغَائِطِ فَحَمَلْتُ مَعَهُ إِدَاوَةً قَبْلَ صَلَاةِ
الْفَجْرِ فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيَّ
أَخَذْتُ أُهَرِيقُ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ وَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يُخْرِجُ جُبَّتَهُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمَّا
جُبَّتِهِ فَأَدْخَلَ يَدَيْهِ فِي الْجُبَّةِ حَتَّى أَخْرَجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْ أَسْفَلِ
الْجُبَّةِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ تَوَضَّأَ عَلَى خُفَّيْهِ
ثُمَّ أَقْبَلَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَأَقْبَلْتُ مَعَهُ حَتَّى نَجِدُ النَّاسَ قَدْ
قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لَهُمْ فَأَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مَعَ النَّاسِ
الرَّكْعَةَ الْآخِرَةَ فَلَمَّا سَلَّمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ قَامَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُتِمُّ صَلَاتَهُ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ الْمُسْلِمِينَ
فَأَكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَاتَهُ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ أَحْسَنْتُمْ أَوْ قَالَ قَدْ أَصَبْتُمْ
يَغْبِطُهُمْ أَنْ صَلَّوْا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا
Artinya: “Bahwasannya Muqhirah
bin Syu’bah menceritakan, bahwa dia berperang bersama Rasulullah Saw diperang
Tabuk. Mughirah berkata; Rasulullah hendak membuang hajat, kemudia mencari
tempat yang tertutup, maka aku bawakan satu ember air sebelum shalat subuh,
ketika beliau kembali, aku tuangkan air dari ember itu ketangannya, beliau
membasuh tiga kali, kemudian membasuh wajahnya, kemudian menyingsingkan
jubahnya untuk mengeluarkan lengannya, akan tetapi lengan jubah itu sempet,
maka Rasulullah memasukan tangannya kedalam jubahnya dan mengeluarkannya dari
bawah jubah, maka beliau membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya,
kemudian beliau berwudlu di atas khuf (maksudnya tidak membasuh kaki, tapi beliau
cukup mengusap bagian atas khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit),
kemudian beliau bergegas (menyusul rombongan), Mughirah berkata: akupun
bergegas bersama beliau, maka kami mendapati romobongan (para sahabat) sedang
shalat shalat, dan Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam mereka, dan sudah
masuk rakaat terakhir. Maka ketika Abdurrahman bin Auf salam dan selesai
shalat, Rasulullah menyempurnakan shalatnya, maka hal itu membuat kaum muslimin
keheranan (Rasulullah menjadi ma’mum), merekapun memperbanyak tasbih, maka
ketika Rasulullah selesai shalat, beliau menghadap kepada para sahabat dan
berkata: ahsantum (kalian telah berbuat benar), Mughirah berkata: atau beliau
waktu itu mengatakan: kalian benar, dimana mengajak manusia untuk shalat tepat pada
waktunya”. (HR. Imam Muslim 2/107 no: 105)
Itulah diantara dalil pendapat kedua
ini yang menjelaskan bahwa Rosulullah dan Mugirah masbuk kemudian mereka
menyempurnakan raka’at yang tertinggal secara berjama’ah. Hal teresebut seperti
yang disebutkan dalam hadits : “قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا “ yang artinya
: Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan) rakaat yang
tertinggal.
Penggunaan dhamir nahnu secara makna
asal (hakiki) menunjukkan bahwa orang pertama dan ketiga (yang dibicarakan)
melakukan suatu perbuatan secara bersama-sama. Berarti melakukan rakaat shalat
yang ketinggalan itu dengan berjamaah. Apabila tidak diartikan demikian
harus menunjukkan qarinah (keterangan pendukung). Sebagai perbandingan kita
lihat penggunaan dhamir yang sama pada kalimat sebelumnya dalam riwayat Muslim.
Oleh karena iltu lah pendapat ini
berpegang pada hadits tersebut, bahwa seorang masbuk boleh mengangkat imam pada
sholat masbuk. Kemudian juga didukung dengan hadits yang menjelaskan tentang
keutamaan sholat berjamaah.
Wallahu a’lamu
bi As-Shawab
Walhamdu
lillahi rabbil’alamin
MARAJI’
- Al-Qomus Al-Muhith lil-Fairuzabadi (al-‘Allamah Mujiddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi Asy-Syiraji 729-817 H)
- Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah – Wuzarah al-Auqaf wa Asy-syu’un Al-Islamiyyah
- Al-Fih Al-Islamiy wa Adillatuh (Dr. Wahbah Az-Zuhaili) –Daar Al-Fikr-
- ‘Aunul MA’bud Syarh Sunan Abu Dawud (Al-‘Allamah Abu Thayyib Muhammad Syamsu al-Haq al-‘Azhim Abadi bersama Syarh al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah) –Maktabah Asslafiyyah-
- Nailul Authar Min Asrari Muntafa Al-Akhbar (Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy-Syaukani 1173-1250 H); Daar Ibnu ‘Affan, Daar Ibnu Al-Qoyiim
- Radd Al-Muhtar ‘Ala Ad-Dar Al-Mukhtar Syarh Tanwiir Al-Abshar (Muhammad Amin yang masyhur dengan Ibnu ‘Abidin); Daar ‘Alam Al-Kutub –Riyadh
- Majmu’ah al-Fatawa (Syaikh Islam Taqiyyuddin Ahmad bin Taimiyyah Al-Harrani)
- Al-Muntafa Syarh Muwaththa Malik (Al-Qodhi Abu Al-Walid Sulaiman bin Khalaf bin Sa’ad bin Ayyub Al-Baaji, wafat tahun 494 H); Daar al-Kutub Al-‘Alamiyyah
- Mugni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazh al-Manhaji (Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Al-Khathiib Asy-Syarbini ) ‘Ala Matni Minhaj Ath-Thalibin (Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi asy-Syafi’i); Daar al-Ma’rifah Bairut Lebanon
- Al-Wajiz fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi’I (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Gozali); Daar al-Arqam bin Abi Al-Arqam – Bairut Lebanon
- Al-Mugni (Ibnu Qudamah)
- Limadza Nusholli (Syaikh Muhammad Ahmad Isma’il Al-Muqaddam); Daar Al-‘Aqidah
- Fiqi Sunnah (Sayyid Sabiq); Daar Alfath lil-A’lam Al-‘Arabi
- Syarh Shohih Muslim (Imam Nawawi); Daar At-Taufiqiyyah li At-Turats
- Fathu Al-Bari fi Syarhi Shohih Al-Bukhori (Ibnu HAjar al-‘Atsqolani); Daar Mishr li Ath-Thaba’ah
Dien
Saepudin
ألسلام عليكم و رحمة الله
و بركاته
:
Bolehkah makmun kepada mantan masbuQ ?
Dien
Saepudin >>
si A masbuQ pada si B pada tahiyat akhir
lalu ketika meneruskan sholat nya ada si C yang kemudian bermakmun pada si A
itu ... gimana sholat nya si c apakah sah?
Arwan Masruri Muhammad >>
Zaid menjadi makmum masbuq, ketika imam
mengucapkan salam maka si Zaid berdiri guna melanjutkan rokaat berikutnya.
kemudian datanglah Paijo dan bermakmum kpd Zaid.. Maka sholat jama'ah si Paijo
bermakmum dgn si Zaid tersebut sah.
Bahkan dalam kasus pelaksanaan sholat
berjamaah dalam sholat Jumat pun bila terjadi kasus serupa itu dihukumi sah dan
Zaid cukup melaksanakan 2 rokaat saja dengan catatan cuma terlambat 1 rokaat
dari imamnya... begitupun halnya si Paijo juga cukup melaksanakan 2
rokaat, dengan ketentuan pada rokaat pertama ia bermakmum kpd Zaid..
Nur Hasyim S. Anam >>
....bahkan bila terjadi bermakum dengan
cara "berpindah-pindah" juga boleh ( sah sholat berjamaahnya )
Dien Saepudin >> kalau makmun
pindah2 bagaimana kaifiah nya?
Arwan Masruri Muhammad
Yang dimaksud
"berpindah-pindah" itu begini ---> pada awalnya si Zaid bermakmum
ke si Paijo---kemudian di tengah-tengah sholatnya itu si Zaid
berpindah bermakmumnya ke Mbah Jenggot yang ada d depan Zaid juga. kasus
semacam ini diperbolehkan dan sah sholat berjamaahnya tapi si Zaid ini
gak dapat fadlilah jamaah, akan tetapi khusus dalam sholat Jumat tidak
dperkenankan
( bila dilakukan maka sholat jumatnya
tidak sah ).
Dien Saepudin
apa benar sebagai masbuq kalau mau dapat
fadilah berjamaah itu mesti tepukin dulu si calon imam dan kalau gak gitu gak
dapat fadilahnya, tapi bukankah itu sifatnya mengganggu sholat seseorang?
Arwan Masruri Muhammad
ولا يصح قدوة بمن اعتقد بطلان صلاته)...
(ولا) قدوة (بمقتد) ولو احتمالا، وإن بان إماما.
وخرج بمقتد من انقطعت قدوته، كأن سلم الامام فقام مسبوق
فاقتدى به آخر صحت، أو قام مسبوقون فاقتدى بعضهم ببعض صحت أيضا - على المعتمد -
لكن مع الكراهة.
(فتح
المعين)
Arwan Masruri Muhammad
قوله: صحت) محل الصحة في هذه الصورة وفي الثانية
التي بعدها في غير الجمعة، أما فيها فلا تصح القدوة في الصورتين عند الجمال
الرملي، وفي الصورة الثانية عند ابن حجر.
أما في الصورة الاولى فتصح عنده، لكن مع الكراهة، أفاده
الكردي
(قوله:
لكن مع الكراهة) ظاهره أنه مرتبط بالصورة الثانية، وهو أيضا ظاهر عبارة شيخه في
التحفة،
وظاهر عبارة النهاية أنه مرتبط بالصورتين، كما نبه عليه
ع ش، وعبارته: قوله لكن مع الكراهة، ظاهر في الصورتين، وعليه: فلا ثواب فيها من
حيث الجماعة.
وفي ابن حجر التصريح برجوعه للثانية فقط والكراهة، خروجا
من خلاف من أبطلها. اهـ.
(إعانة
الطالبين حاشية على فتح المعين)
Arwan Masruri Muhammad
Kesimpulan
'Ibarot di atas :
1.
Makmum wajib berniat menjadi makmum, maka bila tdk berniat tersebut niscaya
sholatnya tidak sah;
2.
Imam tidak harus berniat menjadi imam, akan tetapi bila ia tidak berniat
tersebut niscaya tdk mendapat fadlilah sholat berjama'ah;
3.
Makmum & imam boleh niat jadi makmum atau imam di tengah2 sholat yang
sedang dilakukannya;
4.
Makmum akan mendapat fadhlilah sholat berjamaah manakala ia berniat menjadi
makmum semenjak takbirotul ihrom;
5.
Imam akan mendapat fadhiilah sholat berjamaah semenjak ia berniat menjadi imam
walaupun niatnya dilakukan di tengah2 sholat yang sedang dilakukannya;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar